Delapan Warga Pesisir Selatan Tewas dalam Kerusuhan di Wamena
Salah seorang korban kerusuhan Wamena sedang di evakuasi ke Jayapura (foto: kiriman)
Payakumbuh.com – Delapan orang warga Pesisir Selatan, Sumatra Barat dikabarkan meninggal dunia pada kerusuhan di Wamena, Senin (23/9). Sementara satu orang lagi dalam kondisi kritis, dan seorang lagi mengalami luka ringan akibat terbakar.
Kabar ini disampaikan langsung Ketua Ikatan Keluarga Minang (IKM) Papua, Zulhendri Sikumbang via telepon seluler, Selasa (24/9) malam.
Menurut dia, ke delapan warga Pesisir Selatan yang meninggal tersebut pada umumnya akibat terkena panah, kena kampak, kena parang dan luka akibat terbakar.
Keseluruhan korban meninggal, kritis dan luka ringan ini berasal dari kecamatan Lengayang, Taluak dan Sutera, Pesisir Selatan. Mereka terdiri dari suami, istri dan anak serta keluarga dari yang meninggal.
Adapun data korban yang meninggal adalah, Syafrianto, 36 tahun, asal Kecamatan Lengayang, pedagang. Jefri Antoni, 23 tahun, asal Lengayang.
Hendra, 20 tahun, asal Lengayang. Rizky (anak Syafrianto, 4 tahun.
Ibnu, 8 tahun. Iwan, 24 tahun, pedagang. Nofriyanti, 40 tahun, asal Kecamatan Sutera dan Yoga Nurdin Yacop, 28 tahun, dagang.
Sementara satu orang dalam kondisi kritis adalah Putri, 30 tahun (istri Syafrianto) yang terkena panah pada lengan, dada kiri, bahu kanan dan kiri serta kaki kanan dan kiri. Putri sempat melarikan diri saat terjadinya kerusuhan itu.
Sedangkan satu lagi Isal, 42 tahun (suami Nofriyanti) yang mengalami luka bakar ringan dan selamat.
Menurut data yang dihimpun IKM Papua, jumlah warga asal sumbar berdomisili di Wamena sekitar 327 KK. mereka pada umumnya menjadi pedagang, dan sebagian sangat kecil menjadi ASN dan TNI.
Akibat kerusuhan ini mereka kehilangan tempat tinggal dan tempat usaha. Mereka kini mengungsi ke Markas Kodim dan Polres Wamena.
Penjelasan Kapolri
Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Muhammad Tito Karnavian memaparkan kronologis terjadinya sejumlah kerusuhan di Papua kepada media di Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (24/09/2019)
Tito mengungkapkan, kerusuhan berawal dari isu yang berkembang di SMA PGRI bahwa ada salah seorang guru yang menyampaikan kalimat dengan nada rasis kepada muridnya.
“Tanggal 23 itu, pagi hari, di SMA PGRI ini ada isu bahwa ada seorang guru yang sedang mengajar menyampaikan kepada muridnya. Ini isunya, ya, bahwa guru ini menyampaikan kalau berbicara (harus) keras, gitu,” kata Tito
“Nah terdengar oleh, menurut isu ini, murid ini yang terdengarnya ‘kera’. Sehingga muncul lagi menyampaikan pada temannya, mohon maaf, ‘saya dikatakan oleh guru tadi monyet’. Padahal yang dimaksud kalau bicara keras. Tapi kan tone (nada berbicara) di Papua mungkin sedikit-sedikit beda dengan di daerah lain. Itu kedengerannya mungkin S-nya lemah,” lanjutnya lagi.
Polisi kemudian menerima informasi bahwa ada kelompok Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menyamar menggunakan seragam SMA. Anggota itu disinyalir yang menyebarkan isu tersebut sehingga memancing amarah murid di sana.
“Isunya sudah terlanjur menyebar, lalu kelompok-kelompok KNPB dan undergorund yang bergabung memprovokasi anak-anak SMA di situ, mereka berkumpul, bergabung, lalu ada petugas yang cepat datang dari polres dan kodim menenangkan,” tuturnya.
Sayangnya, jumlah massa yang sudah semakin besar, yaitu sekitar 2 ribuan orang itu, melakukan aksi anarkis dengan melemparkan batu ke toko-toko milik warga, kantor pemerintah, hingga merusak fasilitas umum. Tidak hanya itu, massa juga melakukan kekerasan terhadap masyarakat, khususnya kepada mereka yang merupakan pendatang di Papua.
“Jadi setelah itu petugas yang ada di sana, baik dari TNI atau Polri, menenangkan mereka dan berusaha mengendalikan mereka dengan teknik-teknik yang ada. Dan kemudian sejumlah orang ada ditangkap dan diamankan, dan ini berlanjut sampai jam 3 sore. Jadi mulai ramai-ramai isu hoaksnya jam 07.30 sampai jam 15.00 sore, lebih kurang 8 jam,” jelasnya.
Untuk saat ini, situasi di Wamena dan sekitarnya relatif terkendali. Namun polisi tetap menambah jumlah personel untuk memperkuat keamanan di sana. Meski demikian, Tito enggan mengungkapkan berapa jumlah personel yang ditambah untuk membantu pengamanan di Wamena.
“Tapi kita tambah pasukan tadi pagi, tapi tidak perlu disebut berapa. Yang penting kita perkuat kemaanan di sana karena banyak pendatang yang mengungsi di kodim, polres, dan kantor-kantor aparat keamanan di sana. Sehingga kita berusaha menjamin dulu kemananan dengan mempertebal personel di sana, setelah itu kita tetap merawat yang sakit dan juga meninggal sambil investigasi tentang peristiwanya, termasuk yang di Jayapura,” pungkasnya (awe)