Pendidikan, Untuk Masa Depan. Katanya…
Catatan; ALVINO SUSENDRA
– PAYAKUMBUHPOS.ID –
“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani…”, filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yang akrab di ingatan. Jika disederahanakan ke Bahasa Indonesia, memiliki arti: “di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan”. Semboyan tersebut sering kita temui terpampang memberi warna di gedung-gedung sekolah yang “jadul” dan membosankan itu.
Semboyan ini disepakati sebagai filosofi pendidikan di Indonesia. Ditandai dengan disematkannya “Tut Wuri Handayani” di logo Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sejak saat itu, sampai sekarang setelah terakhir berubah bentuk menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, semboyan itu tetap tersemat di logo tersebut. Sebuah filosofi yang dipertahankan bangsa ini berpuluh tahun lamanya. Pertanyaannya, apakah filosofi tersebut benar-benar masuk ke dalam ruang kelas?
Proses belajar merupakan perjalanan panjang dalam kehidupan manusia. Dalam sistem pendidikan konvensional, sekolah masih menjadi sarana belajar yang paling populer dan dianggap paling aman. Di negeri ini, sistem pendidikan yang dijalankan oleh sekolah tidak pernah berubah sejak zaman kolonial. Guru berdiri di depan, murid duduk mendengar dan memperhatikan dengan sikap tunduk. Yang tidak disiplin akan dihukum. Seluruh anak dicekoki racun-racun yang dibungkus kurikulum selama 6-8 jam sehari. Tak cukup sampai di situ, siswa juga dibebani pekerjaan rumah dari sekolah yang tidak sedikit bobotnya.
Kekejaman dunia pendidikan kita tidak berhenti sampai disitu saja. Kerusakan sistem turut menghadirkan peristiwa-peristiwa memilukan. Paling umum, fenomena kekerasan pengajar terhadap pelajar semakin marak terjadi. Sebuah warisan yang sering dipandang sebagai sebuah pemakluman dalam sistem pendidikan di negara ini. Hanya saja, keterbukaan informasi seperti sekarang memunculkan pro kontra yang memici perdebatan di ruang-ruang diskusi.
Teraktual masih hangat dibicarakan di sosial media adalah peristiwa seorang murid yang ditampar oleh seorang guru karena ketahuan merokok di Kabupaten Lebak. Kita sepakat bahwa murid yang merokok adalah sebuah kesalahan. Tetapi, apakah tamparan seorang guru terhadap murid yang bersalah adalah sebuah kebenaran? Dimana “ing ngarsa sung tuladha” saat peristiwa itu terjadi? Ironisnya, guru tersebut diketahui juga menjabat sebagai kepala sekolah di sekolah tersebut.
Keadaan semakin diperburuk dengan sikap pro terhadap bentuk kekerasan semacam itu. Banyak pihak yang menilai, itu sudah lumrah terjadi, dan generasi sekarang dicap lemah dan cengeng. Kerap mereka yang mengambil posisi sebagai pendukung seorang psikopat semacam itu membandingkan perlakuan kekerasan yang dialami di bangku sekolah dulu. Dengan bangga menceritakan bagaimana kejamnya sistem pendidikan yang terjadi di zamannya. Tetapi mereka lupa, cara-cara horor semacam itu ternyata tidak membawa bangsa ini kemana-mana.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman untuk seseorang belajar. Pendidikan mestinya tidak hanya membuat manusia menjadi benar, tetapi juga menjadi baik. Sebuah tamparan mungkin bisa membuat siswa tersebut berhenti merokok, tetapi apakah itu menjamin bahwa Ia tau kebaikan apa yang timbul dari keputusannya berhenti merokok? Tamparan tersebut hanya akan membuat Ia benar, tetapi tidak menjamin Ia memahami kebenaran itu menjadi sesuatu yang baik. Ia hanya takut ditampar, tetapi Ia tidak tahu bahwa dengan berhenti merokok kesehatan dan lingkungannya akan mendapat kebaikan.
Bagaimana seseorang yang sedang belajar mengetahui suatu hal yang baik, tanpa mengetahui hal yang buruk? Bagaimana pula seseorang mengetahui yang benar, sedangkan Ia tidak mengetahui sesuatu yang salah? Jika seorang pelajar sudah pada titik yang baik dan benar, lantas untuk apa mereka bersekolah? Membuat seseorang menjadi benar, memang lebih praktis ketimbang membuat seseorang menjadi baik. Banyak pengendara motor menggunakan helm karena takut dengan surat tilang, bukan untuk keselamatan diri. Banyak orang takut mencuri karena takut dipenjara, bukan atas dasar moral mengambil hak orang lain.
Guru mesti digugu dan ditiru. Perkataannya dipercaya sebagai sebuah kebenaran, sikap dan perbuatannya menjadi teladan untuk ditiru. Pemakluman terhadap tindak kekerasan guru dalam dunia pendidikan akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Disamping pengaruh langsung kepada siswa yang mengalami kekerasan, efek domino antar siswa juga menjadi dampak yang berbuntut panjang. Kasus-kasus pembullyan, tawuran, dan kekerasan lainnya yang terjadi di lingkungan pendidikan, bukan lahir dari sebuah kebetulan.
Suatu hal yang perlu disadari, wajah pendidikan di negara ini sudah buruk dan tak enak dipandang. Sistem pendidikan negara ini memaksa seluruh siswa untuk ikut satu model pembelajaran. Tidak adil rasanya untuk menilai ayam dari kemampuannya memanjat, atau menghukum kera karena ketidakmampuannya untuk menyelami samudera. Sistem pendidikan kita sudah sangat mengerikan. Sistem yang buruk tersebut harus diputus mata rantainya. Kepala sekolah yang menampar siswa di Kabupaten Lebak, juga pernah menjadi korban dari sistem yang menakutkan tersebut.
Bangsa ini tidak butuh pergantian kurikulum setiap terpilihnya rezim yang baru. Setidaknya dalam 20 tahun terakhir, sudah 6 kali kurikulum diganti. Riasannya berganti merek, tapi wajahnya tetap muram dan membosankan. Revolusi dalam dunia pendidikan sepertinya tidak lagi bersifat opsional, tetapi jalan yang harus ditempuh. Karena Indonesia tidak kekurangan apapun untuk bekal menempuh jalan tersebut.
Sudah siapkah sistem pendidikan kita untuk masa depan? (*)













